Monday, May 31, 2010

Konflik Aceh..


I. Latar belakang Masalah

Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang didirikan pada 4 Desember 1976 yang dikenal dengan Aceh-Sumatra National Liberation Front (ASNLF) dan didirikan oleh Teuku Hassan Di Tiro. ASNLF atau GAM bertujuan sebagai gerakan demi memisahkan Aceh dengan pemerintahan Indonesia.

Separatisme Aceh ini merupakan persoalan yang paling actual sepanjang sejarah masa transisi Indonesia, dimana lebih dari lima belas ribu korban jiwa berjatuhan sejak Teuku Hassan Di Tiro memproklamirkan kemerdekaan Aceh melalui organisasi ini. GAM sendiri merupakan bentuk kekecewaan masyarakat Aceh terhadap pemerintahan yang berdaulat, Pemerintah dianggap telah me-marginalisasikan masyarakat Aceh. Aceh menganggap pembangungan di daerahnya jauh terlambat dibandingkan pembangunan di pusat pemerintahan, selain itu Aceh kaya akan sumber daya minyak dan gas alam, dimana dilakukan eksplorasi besar-besaran oleh pemerintah tanpa ada timbal balik bagi masyarakat Aceh itu sendiri,

Dengan itu GAM merupakan sebuah gerakan separatisme yang dianggap oleh pemerintahan orde baru sebagai gerakan yang mencoreng muka integrasi Republik Indonesia, sehingga pemerintahan orde baru mengambil langkah untuk meredam gerakan tersebut dengan cara keras, dan menyebabkan hilangnya ribuan korban. Cara pemerintah yang kurang bijaksana ini menjadikan simpatisan GAM semkain meningkat dan menjadikan pecahnya konflik antara GAM dan pemerintahan RI.

Dalam konflik yang berlangsung hingga hampir tiga puluh tiga tahun itu, selain menelan ribuan korban juga terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan pemerintah, sehingga dalam usaha melakukan peace building di Aceh maka pihak internasional pun masuk dan turut campur dalam penanganan konflik tersebut. Perjanjian Helsinky merupaan titik dimana perdamaian tersebut tercipta, dan Aceh tidak terlepas dari tangan pemerintahan Indonesia.

III. The Theory…

Teori yang dapat digunakan dalam membelah kasus konflik yang terjadi di Aceh ialah dengan menggunakan konsep teori kebutuhan manusia, yang menurut saya merupakan paling mendekati penyebab konflik di Aceh. Teori ini menyatakan bahwa akar penyebab terjadinya sebuah konflik atas dasar kebutuhan manusia yang meliputi fisik, mental, dan sosial yang tidak dapat dipenuhi ataupun terhalangi oleh sebuah kekuasaan yang berdaulat, dimana dalam teori ini isu keamanan, identitasm pengakuan, partisipasi serta otonomi merupakan isu yang menjadi inti pembicaraan.

Konflik Aceh erat kaitannya dengan separatisme, dimana fenomena separatisme ini telah muncul paska kemerdekaan dan terjadi hampir diseluruh negara. Separatisme Aceh muncul pada tahun 1953 saat Darul Islam ingin memisahkan diri dari RI dan membentuk sebuah negara islam. Geertz Clifford memandang isu separatisme Aceh terjadi sejak pemerintahan presiden Soekarno di zaman orde lama, dimana gerakan separatisme terjadi disaat sebuah kelompok masyarakat merasa kurang puas terhadap sikap pemerintah pusat dan menyebabkan munculnya sentimen primordial. [1]

IV. Pembahasan

a. Akar Konflik Aceh

Keinginan Aceh untuk memisahkan diri dari kesatuan Republik Indonesia dimulai sejak pemerintahan orde lama, dimana pada saat itu lewat organisasi Darul Islam, Aceh ingin membentuk sebuah negara berbasiskan agama Islam. Kemudian pada tahun 1976 didirikan gerakan serupa bernama GAM oleh Hassan Tiro, dengan maksud yang sama yaitu memisahkan diri dari RI dan membuat negara baru bernama Nanggroe Aceh Darussalam dan gerakan ini seringkali disebut dengan ASNLF.

GAM di deklarasikan oleh Hassan Tiro secara sembunyi-sembunyi di bukit Cokan, pedalaman di kecamatan Pidie. Setahun Kemudian dekalarasi kemeredekaan disebarluaskan dalam tiga bahasa; Inggris, Indonesia, dan Aceh. Sejak saat itulah pemerintahan ore baru kemudian mengetahui keberadaan pergerakan bawah tanah yang dilakukan oleh GAM.

Gerakan ini terdiri dari sekelompok inteletktual yang merasa kecewa terhadap peran kebijakan pemerintah pusat terhadap Aceh, karena penyelenggaraan pemerintah yang didominasi oleh ethnis Jawa, kelompok intelektual ini kemudian berasumsi bahwa telah terjadi kolonialisasi terhadap Aceh yang dilakukan oleh Jawa dengan menduduki kursi-kursi pemerintahan dan mengeruk kekayaan alam.

Selain itu faktor lainnya penyebab timbulnya konflik Aceh karena pemerintah me-marjinalkan Aceh secara pembangunan dan pendidikan. Kesejahteraan masyarakat Aceh jauh terbelakang dengan masyarakat di Jawa, serta pembangunan yang tidak berkembang, eksplorasi sumber daya alam Aceh secara besar-besaran yang dilakukan pemerintah tidak timbal balik terhadap masyarakat daerah dan tidak dikembalikan ke tangan pemerintahan daerah. Maka kemudian timbul kebencian dan rasa marah terhadap ethnis jawa yang berlangsung hingga saat ini.

b. Kebijakan Pemerintah

Hassan Tiro menyebarkan konsep anti-kolonialisasi Jawa terhadap masyarakat demi memperbesar basis dukungan bagi GAM. Dukungan pun datang dari tokoh-tokoh Darul Islam Aceh, dan menganggap GAM ini merupakan penerus perjuangan DI yang belum tuntas di zaman orde lama. Keberadaan GAM sangat ditentang oleh pemerintah orde baru dan cenderung diperlakukan secara represif, karena anggapan bahwa GAM hadir sebagai pengacau dalam stabilitas politik dan keamanan nasional. Langkah-langkah yang diambil pemerintah sangat keras dan jauh dari kata perundingan. Pihak pemerintah tidak berusaha mengintegrasikan pihak-pihak yang memberontak, bahkan memperlakukan tindakan yang tidak adil terhadap para keluarga pemberontak. Dimana menurut isu yng beredar pada saat itu para TNI yang bertugas melakukan tindakan pelanggaran HAM dan seringkali melakukan pemerkosaan terhadap para wanita setempat.

Pendekatan militer di Aceh ini seperti penghilangan orang, pembunuhan, pemerkosaan dan penculikan. Ditengah situasi yang kacau balau tersebut pada tahun 1979 Hassan Tiro melarikan diri ke Swedia dan mendirikan pemerintahan dalam pengasingannya yang disebut sebagai GAM Swedia dan menempatkan dirinya sebagai kepala negara[2] . Kemudian pada tahun 1980an GAM memulai kembali aksinya dan menimbulkan kembali respon militer hingga waktu yang sangat panjang yang penuh dengan kekerasan dan represi hingga awal 90an. Pada saat pengasingan yang dilakukan Hassan Tiro lahirlah generasi baru kelompok GAM yang melakukan eksodus keluar dan melakukan perjuangan dari luar Aceh, yaitu melalui Malaysia, Libya dan Jenewa.

Kemudian di akhir tahun 90an, pada saat tampuk pemerintahan sudah tidak lagi diduduki oleh Soeharto situasi di Aceh masih sama, GAM masih bersikeras memisahkan Aceh dari Pemerintahan Indonesia. Pada zaman B.J Habibie telah mengupayakan berbagai macam cara dan kebijakan, namun kebijakan-kebijakan yang diambil tidak dapat berjalan efektif.

Berbeda dengan pemerintahan sebelumnya, pada era Abdurahman Wahid, jalur diplomasi sudah mulai diterapkan demi mendamaikan hubungan antara GAM dengan Pemerintah. Gusdur menggunakan upaya dialog damai yang disebut Jeda Kemanusiaan I dan II. Namun, jalur ini kembali tidak efektif disaat Gusdur terpaksa turun dari kursi pemerintaan sebelum usaha pendamaian selesai. Era Megawati berbeda dengan masa pemerintahan sebelumnya, dimana Megawati kembali menggunakan pendekatan militeristik hingga menyebabkan korban-korban sipil berjatuhan atas penetapan Aceh sebagai Daerah Darurat Militer. Kebijakan ini menjadikan jalur perdamaian semakin tak tentu arah dan jauh dari kata sepakat.

c. Perundingan Helsinky

Berbeda dnegan pemerintahan sebelumnya, pemerintahan SBY-JK memiliki pendekatan yang berbeda, yaitu melalui jalur perdamaian dengan mengutamakan pendekatan perundingan. Sejak Januari-Juli 2005, pemerintahan ini melakukan empat kali babak pembicaraan informal dengan petinggi GAM. Pembicaraan ini dalam maksud membuka perundingan sebagai cara damai menyelesaikan separatisme yang dilakukan oleh GAM agar dapat dibendung. Pembicaraan informal ini difasilitasi oleh Crisis Management Initiative (CMI) yang merupakan sebuah lembaga yang dipimpin oleh mantan Presiden Finlandia, Martti Ahtisaari. Melalui Jusif Kalla sebagai Wakil Presiden Indonesia, mengawali proses perdamaian dengan “pendekatan baru”, dimana Kalla memiliki supervisi yang konsisten dan sustainable dalam menyelesaikan konflik Aceh dengan jalur perdamaian. [3]

Martti Ahtisaari memiliki kesepahaman dengan pihak RI, bahwa dalam menyelesaikan konflik Aceh dapat menggunakan konsep otonomi khusus. Reputasi Martti sebagai mantan presiden yang memiliki track record yang baik menyebabkan pihak GAM mau duduk satu meja dengan pemerintah Indonesia, serta keberadaan Hassan Tiro yang pada saat itu sedang berada di Swedia menjadikan Martti diharapkan dapat menjadi mediator yang bisa dipercaya.

Perundingan Helsinky terjadi sebanyak lima putaran, putaran pertama dan kedua tidak berhasil karena kedua belah pihak tetap pada pandangannya masing-masing, terutama pada putaran kedua yang tidak menghasilkan apa-apa karena dead lock atau tidak adanya titik temu yang bisa menjadi jalan tengah bagi kedua belah pihak. CMI kemudian mencari sebuah alternatif rumusan perundingan yang kemudian menjadi faktor penentu keberhasilan perundingan kedua belah pihak. Tidak hanya melalui second track diplomacy yang melibatkan badan organisasi Internasional seperti Henry Dunant Organization namun juga membawa Uni Eropa, PBB dan AS untuk masuk dan terlibat didalam konflik ini.

Selain Martti, nama Jusuf Kalla pun dianggap sangat penting mengingat Jusuf Kalla bukanlah orang Jawa, sehingga petinggi-petinggi GAM mau duduk satu meja dan melakukan perundingan. Kalla bersikap merendah dengan mensejajarkan keberadaan GAM sejajar dengan pemerintah Indonesia, yang sangat di tentang oleh pemerintahan sebelumnya. Selain itu wapres Kalla mengamini beberapa point tuntutan GAM, seperti dilakukannya pemilu di GAM, serta dikembalikannya hasil pengerukan sumber daya alam di Aceh sebagai dana demi membangun infrastruktur di Aceh. Sehingga pada Agustus 2005, kedua belah pihak menandatangani Perjanjian Helsinky. Penandatanganan MoU ini merupakan momentum adanya tranformasi dari perubahan politik di Aceh serta proses rekonstruksi di Aceh.

Perjanjian Helsinky ini terjadi paska peristiwa Tsunami di Aceh hingga Aceh porak poranda dan membutuhkan rekonstruksi diwilahnya, sehingga salah satu faktor lainnya GAM mau mulai melemah ialah pentingnya bantuan masuk ke Aceh, apabila konflik terus berjalan maka akan sulit melakukan prose penyaluran bantuan terhadap Aceh. Persitiwa Tsunami memiliki dampak positif yang berarti bagi proses peacebuilding di tanah Aceh.[4] Sehingga Aceh tidak terpisah dari pemerintah Republik Indonesia, dan tetap menjadi bagian dari entitas negeri ini.



[1] Geertz Clifford. “The Integrative Revolution: Primordial Sentimentsand Civil Politics in The New Stales”. 1963.

[2] http://www.c-r.org/our-work/accord/aceh/bahasa/profiles.php

[3] Mochamad Nurhasim, Konflik dan Integrasi Politik Gerakan Aceh Merdeka, 2008,

hlm. 100.

[4] Tjhin, S Christine. Post Tsunami Reconstruction and Peace Building in Aceh : Political Impacts and Potential Risks. Friedrich Ebert Stifting. Jakarta. 2005 : hal 12

UNHCR Indonesia effort for save afghan Refugee



Refugee... adalah isu baru di isu-isu kemasakinian.. tanpa kita sadari mereka itu ada...

dan membutuhkan uluran tangan kita loh... so far yang concern atas nasib mereka msh sangat sedikit, padahal let say afghan, palestine and many other countries around the world is in unstop conflict that have been happening many years ago...



I. The UNHCR BAckground

Warisan yang ditinggalkan dari peperangan yang terjadi sejak Perang Dunia I hingga II ialah korban perang. Dimana para korban ini kemudian membutuhkan tempat yang mampu melindunginya tidak hanya dari presekusi, namun juga perlindungan hak asasi untuk mendapatkan perlindungan serta hak untuk hidup apabila suatu negara dianggap sudah tidak mampu untuk memberikan perlindungan dan menjaga warga negaranya maka warga negaranya memiliki hak untuk mencari perlindungan di negara lain, dengan status Asylum Seeker. Maka itu Perserikatan Bangsa Bangsa mendirikan sebuah agen yang mampu memberikan kontrol dan perlindungan bagi pengungsi itu sendiri.

Sejak berdirinya pada Desember 1950 yang diawali dengan terlaksananya sebuah Konvensi Pengungsi di Jenewa, UNHCR sebuah organisasi internasional yang bergerak dalam kepengurusan pengungsi kemudian berdiri. Dalam pendiriannya UNHCR dimaksudkan sebagai organisasi yang mampu membantu dan melindungi keberadaan pengungsi paska Perang Dunia II yang disepakati oleh 27 negara serta lembaga-lembaga sosial yang telah ditunjuk dan disepakati.

Kemudian perangkat pertama tersebut mengalami perkembangan pada tahun 1967 dimana dilakukannya perluasan jangkauan Konvensi sejalan dengan semakin meluasnya permasalahan orang-orang yang dianggap tersisih diseluruh dunia tersebut.

Pengungsi itu sendiri memiliki makna sebagai orang atau kelompok yag berada di luar Negara asalnya yang tidak aman dimana sudah tidak ada lagi perlindungan yang diberikan oleh pemerintah di negaranya sehiingga mencari perlindungan ke Negara lain yang lebih aman. Para pengungsi ini akan tetap tinggal di Negara yang ditujunya hingga keadaan dinegaranya stabil ataupun mungkin akan ditempatkan dinegara ke-3 yang lebih aman dan menerima status pengungsinya untuk dapat menjadi warga Negara setempat.

Dalam makalah ini maka akan kami bahas mengenai Kedatangan Pengungsi Afghanistan di Indonesia sejak awal tahun 1979. Pada saat itu di Afghanistan telah berlangsung konflik berkepanjangan selama 21 tahun, disitulah awal tingginya angka pengungsi yang datang ke Indonesia sebagai tempat perlindungan. Dan pada tahun itu pulalah UNHCR mulai mendirikan cabangnya di Indonesia.

II. How, who, and what The UNHCR do.. for afghan refugee @ Indonesia ???

Pengungsi merupakan sekelompok orang yang berasal dari sebuah Negara untuk mencari suaka (Asylum Seeker) yang kemudian para pengungsi ini mengajukan proposal terhadap UNHCR agar dapat ditetapkan sebagai pengungsi dan dapat diberikan bantuan sosial selama di Negara pengungsian berupa penghidupan yang lebih layak dan juga perlindungan terhadap hak asasinya. Pengungsi yang berada di Negara luar Negara asalnya lah yang menjadi konsentrasi besar bagi UNHCR, namun dalam fakta lapangan yang diperoleh tidak hanya diluar negaranya, pengungsi pula melakukan perlindungan didalam negaranya sendiri (Internally Displace Persons) yang ternyata jumlahnya lebih banyak dibanding pengungi yang berada di luar negaranya.

Pengungsi Afghanistan yang berada di Indonesia ini merupakan para pengungsi yang telah sekian lama menjadi IDP di negaranya, namun hal itu tidak membuat mereka merasa cukup aman. Kemudian, mereka berpindah ke Negara-negara tetangga dan Negara yang dianggap aman lainnya termasuk Indonesia sesegera mungkin disaat situasi di negaranya tidak lagi cukup aman untuk tetap tinggal, tidak hanya karena konflik yang berkepanjangan dan tak berkesudahan namun juga dikarenakan adanya ancaman presekusi yang dilakukan oleh pemerintah asalnya. Sehingga mereka segera menyelamatkan diri ke Indonesia.

Para pengungsi ini biasanya tidak memiliki visa atau izin tinggal di Indonesia, hal ini dikarenakan posisi terancam yang sudah tidak bisa ditunda lagi. Hal ini kemudian menjadi perhatian pemerintah Indonesia ataupun Negara-negara lain yang mereka datangi, pasalnya rasa penghormatan terhadap hak kemanusian yang tinggi menjadikan mereka harus diiizinkan masuk dan diberikan perlindungan oleh pemerintah Indonesia. Sesuai dengan Pasal 32 dalam Konvensi Pengunsi yang menyatakan,

1. Negara-negara Pihak tidak akan mengusir pengungsi yang berada secara tidak sah di wilayahnya kecuali karena alasan-alasan keamanan nasional atau ketertiban umum.

2. Pengusiran pengungsi demikian hanya akan dilakukan sebagai pelaksanaan suatu keputusan yang dicapai sesuai dengar proses hukum yang semestinya. Kecuali "apabila alasan-alasan keamanan nasional yang bersifat memaksa mengharuskan lain, pengungsi itu akan diizinkan menyampaikan bukti untuk membersihkan dirinya, serta untuk mengajukan banding kepada, dan untuk maksud itu diwakili di depan, instansi yang berwenang atau seorang atau orang-orang yang khusus dirunjuk oleh instansi yang berwenang.

3. Negara-negara Pihak akan menberikan kepada pengungsi tersebut jangka waktu yang layak untuk mengupayakan diterima masuknya secara sah ke negara lain dalam jangka waktu yang diberikan itu. Negara-negara Pihak mencadangkan haknya untuk menerapkan dalam jangka waktu tersebut tindakan- tindakan internal yang dianggapnya perlu. “

Kemudian pada tahun 1979 dimana UNHCR pertamakalinya menduduki cabangnya di Indonesia saat ditemukan banyaknya masyarakat Afghanistan yang tersangkut di Indonesia. Kemudian UNHCR melakukan lobi dan diplomasi terhadap pemerintah Indonesia, dimana dalam proses ini berhubungan langsung dengan Departemen Luar Negeri serta Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.

Mengingat Indonesia bukan merupakan Negara-negara yang menandatangani protokol maupun konvensi Pengungsi, maka Indonesia tidak memiliki Undang-undang yang mengurus masuknya Pengungsi ini. Sehingga sebagai proses legitimasi yang diminta oleh UNHCR sebagai izin atas masuknya pengungsi maka pada tahun 2002 Direktorat Jenderal Keimigrasian dibawah Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia mengeluarkan selebaran, dimana hal menyatakan bahwa pemerintah Indonesia menerima para immigrant yang dianggap masuk ke Indonesia sebagai Asylum Seeker ataupun pengungsi.

Namun para pengungsi yang masuk ke Indonesia ini bukanlah merupakan para pengungsi yang melalui proses terlebih dahulu, sehingga pada saat masuk ke Indonesia mereka berstatus sebagai Illegal Migrants dan hanya yang diindikasikan sebagai asylum seeker dan pengungsi saja yang diizinkan untuk stay, itupun dengan tanggungjawab yang diambil alih oleh UNHCR untuk memproses yang bersangkutan hingga adanya kejelasan status.

Kemudian UNHCR akan melakukan proses identifikasi, dengan melalui tahap-tahap sebagai berikut :

1. Pendaftaran, dimana para pemohon melakukan pendaftaran dirinya dan anggota kelompoknya serta mengisi data yang dicantumkan selengkap-lengkapnya.

2. Interview, Interview ini dilakukan sebagai proses identifikasi kredibilitas mereka dalam ditetapkan sebagai pengungsi, karena seringkali ditemukan migrants ekonomi, atau mereka yang mencari penghidupan yang lebih baik. Dalam faktanya migrant ekonomi bukan merupakan urusan UNHCR.

3. Penempatan, penempatan dapat diartikan tetap tinggal dinegara kedua yang sedang ditempatinya, namun bisa juga berarti ditempatkan dinegara ketiga dan mendapatkan status kewarganegaraan di Negara tersebut.

Dalam proses ketiga ini, para pengungsi Afghanistan ataupun pengungsi lainnya di Indonesia tidak dapat ditempatkan dinegara ini, karena Indonesia tidak termasuk Negara yang tercantum dalam Konvensi maupun Protokol Pengungsi, sehingga para pengungsi ini akan tinggal di Indonesia hanya sampai UNHCR menempatkan di Negara yang mau menerima dan melindunginya sebagai warga Negara pemerintahan tersebut.

Selama di Indonesia, UNHCR mendapatkan bantuan dari Lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat Nasional maupun Internasional, beberapa diantaranya adalah ; Church World Services in Indonesia, IOM, PMI (namun pada perjalanannya PMI melakukan penghentian kerjasama), Lembaga Bantuan Hukum (Sebagai bantuan hukum yang diajukan langsung oleh pengungsi). LSM tersebut memberikan bantuan manajemen penempatan, bantuan sosial serta hukum. Seperti CWS, IOM dan PMI yang memberikan bantuan berupa dana yang diperuntukan sebagai dana dalam menemukan tempat layak untuk ditempati, bantuan pemenuhan bahan makanan, pendidikan, kesehatan dan pekerjaan. Pengungsi pun mendapatkan bantuan dana dari UNHCR agar memperoleh pendidikan bagi anak-anak dan juga pekerjaan disektor informal. Namun, yang menjadi kesulitan dalam penerapan kedua hal tadi ialah bahasa, dimana banyak dari mereka yang tidak mampu berbahasa lokal, sehingga sulit memberikan mereka fasilitas pendidikan, maupun pekerjaan.

Selama di Indonesia,para pengungsi ini bertempat menyebar hampir diseluruh wilayah Indonesia, hal ini karena pemerintah Indonesia tidak memberikan spesifikasi wilayah mana saja yang bisa ditempati sehingga impact-nya timbul kesulitan pendataan berapa banyak pengungsi ataupun illegal migrants yang berada di Indonesia. Para pengungsi ini pun berpindah sesuka hati mereka dari satu wilayah ke wilayah lainnya di Indonesia. Satu hal yang menjadi permasalahan disaat sebagian dai mereka melakukan pernikahan dengan wanita lokal, karena pernikahan ini tidak dapat didaftarkan secara legal, dan hanya bersifat pernikahan agama. Begitupun juga pada saat seorang atau kelompok pengungsi melakukan tindakan kejahatan, seperti yang telah diatur dalam konvensi pengungsi bahwa pengungsi wajib menghormati hukum, adat istiadat serta norma-norma di wilayah yang ditempatinya. Disaat Pengungsi ini melakukan tindakan melawan hukum, maka pengungsi ini akan dikenakan sangsi, namun dalam hal ini UNHCR tidak melakukan perindungan hukum bagi para pengungsi ini dan pengungsi ini akan dikenakan sangsi yang berdasarkan hukum internasional.

Hukuman yang berlaku biasanya bersifat tindakan deportasi terhadap pengungsi yang bersangkutan, namun dalam tindakan ini pemerintah Indonesia jarang melakukannya dengan alasan biaya yang dikeluarkan akan cukup besar, sehingga para pengungsi ini seringkali terbengkalai dan menunggu uluran tangan badan sosial ataupun keluarga yang membawanya pulang. Selain itu pemerintah Indonesia dinilai sangat lembek terhadap keberadaan pengungsi ini, atau lebih tepat lagi pemerintah Indonesia belum memiliki hukum ataupun undang-undang yang jelas terhadap keberadaan pengungsi ini padahal sejak awal kedatangan pengungsi pada tahun 1979 serta gelombang yang besar pada awal 2001 hingga saat ini, jumlah pengungsi yang datang ke Indonesia justru meningkat, namun hingga saat ini Indonesia belum memiliki legitimasi hukum mengenai pengungsi, yang sedang diperjuangkan oleh UNHCR agar pemerintah dapat membuat perundang-undangan yang menyangkut hal tersebut agar dalam menjalankan tugasnya UNHCR dapat bersinergi dengan peraturan dan perundang-undangan di Indonesia.

UNHCR setiap bulannya akan melakukan pendataan jumlah pengungsi yang berada di Indonesia, serta kemudian data ini akan diinformasikan kepada Dirjen Keimigrasian, UNHCR bekerja dengan IOM dan seterusnya manajemen pengungsi akan dilakukan bersma-sama dengan LSM lainnya yang memiliki hubungan kerjasama.

Sehingga pada proses diplomasi yang terjadi sejak pengungsi tersebut memutuskan untuk masuk ke Indonesia, pihak keimigrasian akan mendata dan menyerahkan mereka ke UNHCR. Kemudian UNHCR akan melakukan identifikasi serta interview untuk menyeleksi dan menimbang dapatkah pihak tersebut dinyatakan sebagai pengungsi, selama masa menunggu untuk mendapatkan status pengungsi tersebut mereka ditetapkan sebagai pencari suaka, kemudian UNHCR akan menyatakan status kepengungsian mereka dan melaporkan kepada pihak keimigrasian selama mereka tinggal di Insonesia, mengingat Indonesia bukanlah bagian dari Negara-negara yang tercantum dalam konvensi pegungsi maka para pengungsi ini tidak memiliki hak untuk meng-apply status kewarganegaraan di Indonesia. Atas dasar tersebut Indonesia merupakan Negara ke-dua atau transit sampai UNHCR menemukan Negara ke-tiga yang akan menerima mereka dan menetapkan status kewarganegaraan pasti. Atau juga mereka dengan secara sukarela akan kembali ke Negara nya sendiri sebagai pemudik, disaat keadaan negaranya telah aman atau untuk kasus Afghanistan rejim yang berkuasa telah turun tahta, atau juga peperangan telah berakhir, konflik telah dapat direndam.

UNHCR akan melakakukan solusi berkepenajangan, yaitu :

1. Return Home Voluntarily, Para pengungsi ini akan diminta secara sukarela pulang ke negara asalnya sebagai pemudik disaat rejim yang berkuasa telah turun, ataupun kondisi negaranya telah kembali kondusif.

2. Integrate Locally, Pengungsi akan berintegrasi dengan penduduk local dimana mereka tinggal. Namun kondisi ini disesuaikan apabila negara yang bersangkutan merupakan bagian dari konvensi dan protocol pengungsi.

3. Resettle in 3rd Country, apabila kondisi pada butir kedua terjadi maka pengungsi akan ditempatkan di negara ketiga dan akan diajukan proposal kewarganegaraannya oleh UNHCR.

Dalam sebuah Negara yang terlibat konflik Negara tersebut dapat memohon rntitas asing seperti UNHCR ataupun Negara-negara lainnya untuk menangani permasalahan pengungsi agar segera dipindahkan dari Negara yang bersangkutan, atau para pencaris suaka ini dapat memberangkatkan dirinya sendiri ke Negara yang dapat menerima mereka dan baru kemudian meng-apply status pengungsi terhadap UNHCR. Apabila keadaan Negara darimana mereka berasal telah dianggap aman ada solusi berkepanjangan yang digunakan oleh UNHCR yaitu mengembalikan mereka kenegara asal dengan alasan keadaan Negara yang telah kondusif dan kembali sebagai pemudik sevara sukarela. Kedua solusi yang digunakan ialah menjadi warga Negara lain, dan yang terakhir ialah dikirim kenegara ketiga.

Pengungsi ini menjadikan perhatian bagi kita mengingat mereka merupakan bagian dari entitas internasional yang haknya harus kita lindungi, apalagi sekarang mereka telah hidup berbaur dengan kita, mencari kehidupan yang lebih layak dinegara kita, maka kita sebagai mahluk sosial sama-sama menjunjung rasa kemanusiaan kita dan melindungi mereka agar mereka tetap aman dibandingkan kehidupan mereka yang carut marut yang telah mereka tinggalkan di negaranya.