Thursday, January 14, 2010

Undeniably conflict on Somali Land....



Mengapa Somali ??

Somalia merupakan satu dari sekian banyak Negara less development di Afrika yang tidak henti-hentinya mengalami konflik di dalam internal negaranya dan juga eksternal dengan tetangganya yaitu Ethiopia. Somalia sendiri secara geografis berada di kawasan Afrika Timur. Selain konflik berkepanjangan di Somalia sendiri situasi negaranya masih sangat terbelakang, dimana angka kemiskinan di Somalia merupakan urutan tertinggi di Seluruh dunia. Maka, tak heran Somalia merupakan sarang pembajak dan angka kejahatan yang masih tinggi.

Konflik antar ethnis sendiri muncul sejak Somalia memperoleh kemerdekaannya pada tahun 1960. Penduduk Somalia merupakan penduduk dengan latarbelakang kebudayaan serta tradisi adat istiadat yang kuat, dimana walaupun terbagi dari beberapa ethnis dan klan namun memiliki kesamaan bahasa serta gaya hidup yaitu mengembala. Islam merupakan agama mayoritas serta memeiliki kedekatan dengan penduduk disana. Selain itu, penduduk Somalia yang hidup di Tanduk Afrika, mampu menyesuaikan diri dengan kondisi alam Afrika yang gersang dan tandus, maka tak heran para penduudk Somalia kebanyakan hidup bergantung selain pada hutan juga melaut.

Awalnya Afrika dijajah oleh tiga Negara Eropa (Inggris, Perancis dan Italia), kemudian ketiga penjajah ini membagi wilayah Afrika menjadi beberapa wilayah yang terpisah. Sebagai contoh berawal dari masa awal kemerdekaan dimana British Somaliland dan Italian Somalia digabung membentuk Republik Somalia. Kemudian, dari situlah muncul pergerakan-pergerakan ethnis yang menuntut hak klaim wilayah kependudukan. Kemudian hal tersebut menjadi pemicu awal konflik Somalia yang tak kunjung surut.

Sebagai suatu institusi Internasional yang memayungi Negara-negara dis eluruh dunia. Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) menjadi suatu institusi yang masuk kedalam ranah konflik di Somalia, dan mendesak pemerintah Somalia untuk menyelesaikan konflik di negaranya. Selain itu PBB pun mendesak Uni Afrika agar memberikan kontribusinya untuk menjembatani konflik Somalia yang merambah hingga ke Ethiopia.

Maka dalam makalah ini saya akan memberikan analisa atas peranan PBB sebagai institusi Internasional dalam meberikan resolusi serta wacana-wancana menuju penyelesaian konflik Somalia serta impact-nya terhadap kesejahteraan hidup didalam Somalia itu sendiri.

Yang Jadi pertanyaan.....

1. Apa saja peranan PBB dalam Usaha menjembatani konflik-konflik di Somalia yang belum terselesaikan hingga kini ?

Teori HI....

Dalam melakukan pembelahan terhadap isu konflik Somalia ini, maka saya menggunkan teori Hubungan Internasional Realisme sebagai pembelahnya. Teori Realis muncul paska Perang Dunia II, sebagai pematah terhadap keberadaan teori Liberalis yang menyatakan bahwa setiap aktor mampu berkerjasama. Namun, pecahnya Perang Dunia II membuktikan bahwa aktor-aktor tersebt justru tetap mengutamakan self interest-nya masing-masing.

Realis sendiri di kemukakan pertama kali dalam studi HI oleh Hans J Morgenthau. Realis muncul setelah gagalnya Liga Bangsa Bangsa menjembatani perdamaian internasional. Realis sendiri memiliki empat pendekatan, yaitu : Pertama, negara sebagai pelaku utama dan sekaligus pelaku terpenting. Kedua, negara dipandang sebagai unitary actor. Ketiga, negara secara esensial diasumsikan sebagai aktor yang rasional (essentially a rational actor). Keempat, dalam hirarki isu internasional, kaum Realis biasanya menempatkan aspek keamanan nasional (national security) pada urutan pertama, disini power adalah konsep kunci.

Namun dalan isu konflik Somalia ini implikasi nyata dari pandangan di atas adalah bahwa sifat anarkis, individualis, egois individu dalam upayanya untuk mendapatkan kekuasaan adalah sah dan dapat dibenarkan.

Peran AS yang masuk pada akhir 90-an pun membuktikan kepentingan AS di Somalia yaitu menempatkan kepentinga-kepentingan strategisnya, dengan memanfaatkan konflik di Somalia. Karea secara geografis letak Somalia yang dapat menguntungkan, karena letak Somalia yang berada di Laut Merah yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia, yang merupakan jalur perdagangan Internasional. Selain itu kepentingan-kepentingan strategis lainnya dimana peletakan kepentingan milik Negara-negara Uni Eropa di Negara-negara tetangga Somalia.

Somalia Paska Kemerdekaan

Somalia merupakan sebuah Negara yang terbagi dari banyak ethnis group minoritas yang homogen, dimana perbedaan ethnis di Somalia justru memiliki kesamaan bahasa (Somali) serta agama (Islam), namun konflik di Somalia itu berasal dari perpecahan yang terjadi pada klan-klan minoritas maupun mayoritas. Secara demografis klan-klan ini terpisah berdasarkan letak pemukiman, dimana sebagian klan yang dianggap ‘berada’ tinggal di permukiman mewah sedangkan lainnya berada di pedesaan atau bahkan hutan.

Sejak merdeka dan dilakukan pembagian oleh para ex-penjajah menjadi Republik Somalia, para nasionalis Somalia berambisi membentuk Somalia Raya, yang menyatukan masyarakat Somalia yang tnggal di wilayah yang jatuh ke tangan Kenya, di distrik Perbatasan Utara, Ogaden yang berada di distrik keperintahan Ethiopia dan Djibouti, dimana diwilayah tersebut sekitar sepertiga dari 4 juta warga Somalia tinggal. Keinginan para nasionalis ini tertera dalam konstitusi Somalia dan tercermin dari bendera Somalia, yakni lima bintang yang melambangkan lima segmen penduudk Somalia.

The Somali People collectively and individually struggling for a life of dignity and equality, and engaged in a fight to establish lasting peace and stability internally and externally, to realize the general interests of the working masses, and accomplish the major objectives of the revolution, unity of the nation, socialist equality and democracy in which the individual attains higher levels of political and social consciousness and strengthens the pillars of the revolution and national sovereignty, in order to achieve rapid political and socio-economic development, have resolved to adopt this constitution which shall constitute the basis of the struggle for the development of the Somali society, peaceful co-existence and mutual co-operation among nations of the world, especially those whose interests shall coincide.” [1]

Dibawah semangat erat nasionalisme tersebut, terdapat ikatan kompleks antar kehidupan bermasyarakat di dalam Negara Somalia itu sendiri. Masyarakat Somalia terbagi menjadi clan dan sub-clan, sub-clan itu sendiri berada dibawah clan yang kemudian seterusnya berlanjut hingga menjadi satuan Negara. Lima clan tersebut ialah, Darod, Hawiye, Isaq, Dir dan Digil-Mirifleh. Namun, dalam perjalannannya keinginan untuk mepersatukan kependudukan Somalia itu menemui kegagalan yang berujung terhadap kekalahan militer dan konflik internal yang kemudian tumbuh.

Kemudian pada 1969, Somalia memiliki pemimpin baru yaitu Jenderal Mohammed Siyad Barre yang memproklamirkan Somalia sebagai Negara Marxist, yang pada saat itulah Uni Soviet masuk kedalam wilayah Somalia. Somalia sendiri kemudian melakukan proses nasionalisasi dan menerima penasihat-penasihat Soviet didalam kementrian dan badan-badan Somalia termasuk didalam militer. Soviet kemudian meningkatkan tujuan strategisnya dalam memperluas pengaruhnya di Laut Merah dan Samudera Hindia. Pada 1972 Soviet diberi hak untuk menggunakan pelabuhan Barbera di Somalia Utara, sebagai imbalan pemberian bantuan 37.000 personel tentara dengan artileri berat dan angkatan udara modern yang dilengkapi pesawat-pesawat jet milik Uni Soviet.

Sewaktu Ethiopia mengalami kesulitan dalam konfliknnya dengan Eritrea, Siyad Barre menerjunkan pasukan regulernya untuk membantu pemberontak Somalia di Ogaden. Konflik dengan Ethiopia ini didasari atas latar belakang demografis, dimana 90 % penduduk Somalia merupakan Islam sedangkan Ethiopia beragama Kristen.

Pada saat perang sedang berlangsung Soviet mengalihkan dukungannya justru pada rezim Marxist Ethiopia. Siyad meminta Soviet untuk menambahkan bantuan terhadap Somalia, namun ditolak oleh Soviet. Karena itu Siyad membatalkan perjanjian persahabatan dan kerjasama dengan Uni Soviet, bahkan mengusir para penasihat Uni Soviet dari Somalia. Uni Soviet pun kemudian mendapatkan dukungan dari Kuba [2] dalam membantu Ethiopia selama perang di Ogaden dan Eritrea, dalam perang ini kemudian menjadi berbalik menjadi kekalahan Somalia pada Maret 1978 dan empat hari kemudian Somalia menarik diri dari Ogaden.

Kekalahan ini berimbas ke stabilitas politik di Somalia. Para perwira dari clan Majerteyn dan Darod berupaya melancarkan kudeta terhadap pemerintahan Siyad tapi memperoleh kegagalan dan para pemimpinnya ini melarikan diri ke Ethiopia serta membentuk Somali Salvation Democratic Front (SSDF) yang melancarkan gerilya terhadap Siyad. Perang gerilya kedua ini dilancarkan oleh Somali National Movement (SNM), yang merupakan kelompok Utara yang berbasis clan Isaq, yang didukung oleh Ethiopia.

Siyad bereaksi keras secara militer dan ekonomi, dengan melakukan eksploitasi persaingan antar clan dalam rangka memecah belah lawan-lawannya. Siyad lebih mengandalkan pada clan-nya sendiri, yaitu Marehan dari Darod. Sikap Siyad yang anti-Soviet kemudian membuhakan dukungan dari pihak Barat. Sepanjang 1980-an AS memberikan bantuan senilai US $ 800 juta, setengahnya merupakan bantuan dalam bentuk peralatan militer.Sebagai timbal balik AS diberikan akses bagi pelabuhan serta lapangan terbang di Somalia. Selain AS, Siyad memperleh bantuan dari Italia sebanyak US $ 1 Miliar. Nialai bantuan asing yang masuk ke kantong Somalia setara dengan US $ 80/penduduk atau sama dengan setengah dari GDP.[3] BAntuan-bantuan ini kemudian menjadi penerimaan pokok rezim Siyad, namun sayangnya bantuan ini justru dipergunakan untuk kesejahteraan kroninya, ketimbang digunakan untuk kepentingan rakyat.

Sehingga para loyalis mendapatkan keuntungan dari bantuan pangan, dengan peningkatan konsumsi makanan. Dari Negara yang dapat swa-sembada pangan, Somalia berubah menjadi sangat tergantung dari import makanan, yang menjadikan keuntungan bagi golongan elit.

Dalam rangka memutuskan hubnugan dengan para pemberontak, pada 1988 Siyad mengadakan kesepakatan dengan pihak Ethiopia utnuk saling menghentikan dukungan bagi para pemberontak di kedua Negara. Dengan begitu Ethiopia dapat menarik pasukannya yang berada dekat perbatasan Somalia untuk melawan majunya pemberontakan di Eritrea dan Tigray serta memberikan kesepmapatan bagi Siyad untuk mengganyang gerakan pemberontakan SNM di Utara Somalia.

Sebagai tindakan antisipasi SNM melakukan penyerangan ke sejumlah kota termasuk Hargeisa yang merupakan kota besar yang berada di Utara Somalia, yang juga berbatasan dengan Ethiopia. Dalam melakukan pencegahan pasukan angkatan Udara Somalia melakukan pemboman, selain itu para pejuang aliansi juga berhasil merebut wilayah terbesar di Somalia Selatan dengan adanya bantuan asing.

Dalam konflik Internal ini, Liga Arab sebagai persatuan bangsa-bangsa Arab yang merupakan tetangga dari Afrika turun tangan dengan menjadi fasilitator bagi pembicaraan pihak yang bersiteru di Khartoum, Sudan. Tujuannya ialah unutk mengembalikan fungsi pemerintah pusat yang telah tersobek-sobek akibat kekerasan Siyad Barre yang kemudian dijatuhkan pada tahun 1991 atas kemenangan SNM. Sayangnya momentum tersebut tidak dimanfaatkan untuk melakukan perubahan di bidang social, politik, ekonomi yang lebih demokratis. Sebaliknya, justru meperkeruh konflik ethnis di Somalia dengan adanya perebutan kekuasaan. Karena itulah kemudian Somalia dinyatakan sebagai failed states atau collapsed state.

Invasi Ethiopia Terhadap Somalia yang Didukung Oleh Amerika Serikat

Pada akhir 1990an lahirlah Islamic Court Union ditengah-tengah perang yang sedang bekecamuk. Organisasi ini merupakan gabungan fraksi yang di pimpin oleh Hussein Aweys dan Syarif Ahmed gerakan Al-isttihad Al Islamiyah (yang dipimpin oleh Hassan Abdullah dari Turki) dan Gubernur Shabeellaha Hoose, Yusuf Mohammed Siad "Indha'adde". Pada pertengahan 2006, yang kemudian gerakan ini banyak mendapat dukungan luas.

Pada akhir 2006, kelompok islamis ini berhasil mengalahkan pemerintah transisi yang dituding sebagai boneka Ethiopia dan merebut hampir semua kota penting, termasuk Ibu Kota Mogadishu. Kekalahan inilah yang mendorong militer Ethiopia secara terang-terangan menyerang wilayah Somalia. Washington, yang jelas tidak menyukai Islamic Courts Union, memberikan dukungan kepada para warlord Ethiopia, yang kemudian bersatu dalam bendera Alliance for the Restoration of Peace and Counter-Terrorism. Tidak hanya memberikan dukungan, Pemerintahan AS pun memberikan bantuan militer, dan operasi intel terhadap ICU dan keberadaan penasihat militer. Namun, dukungan AS di Somalia bukanlah perkembangan baru, atau sebagai reaksi sesaat terhadap manuver Ethiopia saja.

CIA dan Pentagon mulai meningkatkan aktifitasnya di Somalia, sejak ICU mulai menguasai beberapa wilayah di Somalia. Tidak kurang dari setahun, AS secara diam-diam maupun terang-terangan memberi dukungan kepada siapapun, termasuk Ethiopia, yang berani menghadapi ICU. Dana diberikan kepada preman bersenjata di Mogadishu untuk mengalahkan ICU. Para ketua militan tersebut bergabung di Alliance for the Restoration of Peace and Counter-Terrorism, yang terbentuk di bulan Februari 2006 yang didanai dari agen CIA di Nairobi, ibukota Kenya.

Di akhir bulan Desember, Jendral John Abizaid sebagai komandan Pusat Komando militer AS mengunjungi ibukota Ethiopia Addis Ababa untuk menyetujui rencana invasi Presiden Ethiopia, Meles Zenawai, terhadap tetangganya Somalia. Menurut sumber diplomatik, AS telah menerjunkan pasukan elit di Somalia untuk mendukung operasi Ethiopia, disamping memberi laporan satelit terhadap gerak-gerik pasukan ICU.

Alasan AS dalam mendukung invasi Ethiopia adalah perlindungan pemerintahan ICU terhadap tersangka pengeboman kedutaan Amerika di Kenya dan Tanzania di tahun 1998. Serangan terhadap dua kedutaan tersebut menewaskan sekitar 200 orang, lusinan diantaranya adalah warga AS. Maka justifikasi utama agresi Ethiopia dan AS ada dua.

· ICU memiliki hubungan dengan teroris yang membom kedutaan AS dan akan mengganggu keamanan regional apabila dibiarkan berkeliaran.

· Pemerintahan Sementara Somalia adalah pemerintahan yang sah dan didukung oleh mayoritas penduduk Somalia.

ICU lahir sebagai jawaban dari harapan rakyat Somalia yang menginginkan kedamaian dan stabilitas dalam menyelesaikan segala bentuk persengketaan. Sejak ditumbangkannya pemerintahan Mohammed Siyad Barre di tahun 1991, Somalia tidak pernah memiliki pemerintahan yang fungsional. Secara praktis wilayah Somalia diatur oleh para militan bersenjata dari berbagai suku. Di tahun 1990an, Somalia menderita krisis pangan yang menyebabkan kematian sekitar ribuan penduduk, kemunduran ekonomi, dan perebutan bantuan pangan oleh para preman. Intervensi ‘kemanusiaan’ AS yang terakhir, terjadi di masa itu yang berakhir dengan kematian 18 tentaranya, setelah menewaskan sekitar 10,000 penduduk Mogadishu.

Maka ICU lahir sebagai jawaban dari keinginan penduduk Somalia sendiri yang menginginkan Syariah untuk menyelesaikan persoalan mereka. ICU pun menjadi suatu gerakan populis, karena ia memberikan jalan keluar yang kongkrit dalam berbagai aspek seperti stabilitas, keamanan, dan penyelesaian sengketa yang damai di masyarakat.

Mengenai klaim bahwa ICU menampung pelarian teroris, perlu diingat bahwa ini bukan pertama kalinya rakyat Somalia dituding sebagai pelindung teroris. Setelah Peristiwa 911 di AS, Hussein Mohammed Farah Aideed (seorang ketua militan yang bergabung dengan Pemerintahan Sementara Somalia) menyatakan bahwa perusahaan transfer uang Al-Barakat memiliki “hubungan dengan teroris dan Somalia memiliki kecurigaan adanya simpati kepada Osama bin Laden”. Saat itu Al Barakat adalah penyedia lapangan pekerjaan terbesar di Somalia, dan mentransfer sekitar 140 juta dollar per tahunnya ke Somalia yang dikirim oleh warga muslim Somalia dari seluruh penjuru dunia.

Dari tuduhan tersebut, Amerika dan PBB lalu melakukan investigasi terhadap Al-Barakat dan memaksanya untuk menghentikan seluruh operasinya. Ini menyebabkan hilangnya jutaan dollar yang dikirim dari warga Somalia yang tinggal di luar negeri, karena proses transfer yang dipaksa dibekukan. Setelah bertahun-tahun diperiksa, baik pemilik dan karyawannya, tidak ada satupun yang menghasilkan tuntutan di pengadilan tentang keterlibatan Al-Barakat dengan terorisme, padahal jutaan dolar dana warga Somalia telah hilang. Maka Amerika, Ethiopia dan anteknya memiliki sejarah menggunakan tuduhan palsu untuk melakukan tindakan agresi.

Ethiopia dan AS telah menjustifikasi intervensi di Somalia dengan dalih mendukung Pemerintah sementara sebagai satu-satunya lembaga yang mampu memberikan kedamaian dan stabilitas di Somalia.

Apabila ditinjau ulang tentang berdirinya Pemerintahan Sementara ini maka akan jelas, bahwa ini alat propaganda AS dan Ethiopia. Dimana Presiden Pemerintahan Semenatara, Abdullah Yusuf Ahmed adalah bekas pimpinan wilayah Puntland, yang terpisah dari Somalia dan membentuk pemerintahan sendiri di tahun 1990an. Ia menjadi presiden hingga tahun 2001, ketika masa kekuasaannya berakhir, Abdullah tidak begitu saja melepaskannya dan justru memimpin pemberontakan. Setelah menguasai Garowe, ibukota Puntland di tahun 2002, ia menjadi presiden lagi sampai tahun 2004.

Orang-orang PFTS yang menjabat sebagai Presiden, menteri pertahanan, menteri keuangan dan lain-lain adalah para militan dari berbagai milisi. Orang-orang ini adalah militan yang sama yang menghancurkan Somalia hingga hampir collapse, yang kemudian AS serta PBB tidak sungkan untuk mendukung Pemerintahan ini, sebagai sumber harapan Somalia Baru.

Meski AS nampaknya cukup puas dengan keberhasilan mencapai tujuannya dengan menggunakan Eithiopia dan Pemerintahan Yusuf, ini baru tahapan terbaru dalam konflik untuk menguasai Somalia. Somalia adalah tanah strategis, yang merupakan kunci regional. Di samping memiliki sumber daya alam, seperti minyak, gas dan uranium, pantai Somalia mencakup Laut Merah, sebagai jalur transportasi maritime internasional yang penting. Konsekuensi dari perang antek yang dikontrol oleh AS akan memberikan dampak secara meluas.

Klaim Eithiopia tentang terorisme di Somalia menaikkan suhu ketegangan dengan Eritrea, tetangga Eithiopia di bagian Timur. Kedua Negara tersebut adalah sekutu AS dan pernah terlibat dalam persengketaan perbatasan. Konflik ini mencetuskan perang antara Mei 1998 hingga Juni 2000. Meskipun perjanjian damai telah ditandatangani melalui Mahkamah Internasional, ketegangan kian meningkat. Tahun 2006, dua negeri tetangga tersebut memobilisasi pasukan masing-masing ke perbatasan.

Ethiopia menuduh bahwa Eritrea memasok senjata bagi ICU dan klaim ini didukung oleh AS. Implikasinya, Eritrea menjadi pendukung langsung atau tidak langsung dari terorisme. Meski Presiden Eritrea, Isaias Aferwerski membantah tuduhan tersebut, pemerintahannya juga mengutuk AS dan pasukan Eithiopia di Somalia. Ketegangan antara Eritrea dan Eithiopia bisa menyulut api pertempuran.

Sebagaimana kekuasaan regional, negeri lain juga ingin berebut pengaruh di wilayah Tanduk Afrika ini. Cina adalah investor terbesar di Sudan dan menerima 7% dari penghasilan minyak dari negeri ini. Beberapa tahun lalu, Cina membina hubungan baik dengan tetangga Sudan, karena suplai minyak Cina berada di wilayah perairan tetangga Sudan. Itu sebabnya, Cina adalah pemasok senjata bagi Ethiopia dan Eritrea sekaligus. Karena sedang menghadapi dominasi AS, Cina memberikan perhatian khusus dengan Negara-negara di Afrika yang memiliki sumber daya alam besar.

Perancis adalah Negara lain yang juga memiliki sejarah panjang dengan Negara-negara di Tanduk Afrika sejak jaman kolonialisme. Campur tangan AS di wilayah ini membuat Perancis merasa terancam. Instalasi militer Perancis di Djibouti, Camp Lemonier, kini juga menjadi pangkalan tentara AS, yaitu Komando operasi militer Tanduk Afrika yang dibentuk sejak 2002 dan terletak di sebelah utara Somalia. Perancis juga memiliki ribuan pasukan yang berpangkalan di Chad, Negara tetangga Sudan di bagian Barat.

Perancis secara tidak langsung menyokong pemberontak di Darfur melalui pemerintahan Chad yang dipimpin oleh Idriss Deby. Ia memiliki hubungan dekat dengan pemberontak Darfur melawan Sudan. Sebaliknya, pemerintahan Sudan yang dipimpin Omar al Bashir mendukung tentara pemberontak melawan Chad. Pesawat tempur Perancis menyerang pasukan pemberontak yang didukung oleh Sudan di bulan April 2006, dan mengecilkan nyali pemberontak yang berusaha menumbangkan pemerintahan Deby.

Somalia dan Tanduk Afrika secara keseluruhan bisa menyaksikan berlangsungnya persaingan kekuatan asing dalam mendukung pimpinan Negara-negara di wilayah tersebut. Beberapa analis memperkirakan bahwa kesulitan yang dihadapi AS di Iraq dan Afganistan membuat saingan AS menjadi bersemangat untuk menandingi dominasi AS di bidang ekonomi dan politik. Bekas pembantu Menteri Dalam Negeri AS, Chester Crocker mengakui kepada BBC di bulan Desember, ”Permainan di Afrika kembali berlangsung. Hanya saja, dengan kompetisi yang lebih ketat dalam mempengaruhi para pemerintahan lokal di Afrika, demikian juga adanya potensi kompetitor dan penyeimbang kebijakan diplomatik AS. Tidak hanya Cina, tapi juga Brazil, negeri Eropa, Malaysia, Korea, Rusia dan India.”


[1] Constitution of the Somali Republic Democratic on Preamble to the Constitution

[2] http://www.acig.org/artman/publish/article_188.shtml diakses pada 4 January 2010 pukul : 18.19 WIB

[3] Perkembangan zHubungan Internasional “Afrika”. Dr. Abdul Hadi Adnan. Hal 133

1 comment: